8 Motif Batik Pesisir Jawa yang Terkenal di Indonesia
MOTIF BATIK PESISIR –
Motif batik pesisir memperlihatkan gambaran yang berbeda dengan motif
batik keraton. Batik pesisir lebih bebas serta kaya motif dan warna.
Mereka tidak terikat dengan aturan keraton, akan tetapi memiliki sedikit
nilai filosofis.
Motif batik pesisir berupa tanaman, binatang, dan ciri khas lingkungannya.
Warnanya
semarak agar lebih menarik konsumen. Batik pesisiran banyak menyerap
pengaruh luar, seperti pedagang asing dan para penjajah.Warna-warna
cerah seperti merah dipopulerkan oleh etnis Tionghoa yang juga
mempopulerkan corak phoenix. Sementara itu, bangsa penjajah Eropa,
khususnya Belanda juga mengambil minat pada batik.
Hasilnya
adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal, seperti bunga
tulip dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah, misalnya gedung,
kereta kuda, meriam, atau pun kapal. Warnanya pun tergantung dari
kesukaan mereka, seperti warna biru.
Batik pesisir merupakan
julukan untuk batik yang ditemukan di wilayah pesisir atau pantai,
misalnya daerah Cirebon, Lasem, Pekalongan, Tuban, dan wilayah lainnya.
1. Batik Cirebon
Motif
batik megamendung merupakan salah satu ciri khas batik cirebon. Motif
megamendung yang merupakan akulturasi dengan budaya Cina tersebut
dikembangkan seniman batik Cirebon sesuai cita rasa masyarakat Cirebon
yang beragama Islam.
Motif
batik ini dapat dijumpai di daerah-daerah pesisir penghasil batik lain
di utara Jawa, seperti Indramayu, Pekalongan, maupun Lasem.
Kekhasan
megamendung atau awan-awanan tidak saja terletak pada motifnya yang
berupa gambar menyerupai awan dengan warna-warna tegas seperti biru dan
merah. Motif berbentuk seperti awan bergumpal-gumpal tersebut biasanya
membentuk bingkai pada gambar utama.
Sejarah batik di Cirebon
terkait erat dengan proses asimilasi budaya serta tradisi ritual
religius. Prosesnya berlangsung sejak Sunan Gunung Jati menyebarkan
Islam di Cirebon sekitar abad ke-16. Sejarah batik Cirebon dimulai
ketika Pelabuhan Muara Jati (Cirebon) menjadi tempat persinggahan
pedagang Tiongkok, Arab, Persia, dan India.
Saat itu terjadi asimilasi dan akulturasi beragam budaya yang menghasilkan banyak tradisi baru bagi masyarakat Cirebon.
Pernikahan
Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Jati merupakan “pintu gerbang” masuknya
budaya dan tradisi Tiongkok (Cina) ke keraton. Ketika keraton menjadi
pusat kosmik sehingga ide atau gagasan,pernak-pernik tradisi dan budaya
Cina yang masuk bersama Putri Ong Tien menjadi pusat perhatian para
seniman Cirebon.
Pernak-pernik Cina yang dibawa Putri Ong Tien
sebagai persembahan kepada Sunan Gunung Jati menjadi inspirasi seniman,
termasuk pembatik.
Keramik cina, porselen, atau kain sutra dari
zaman Dinasti Ming dan Ching yang memiliki banyak motif menginspirasi
seniman Cirebon. Gambar simbol kebudayaan Cina, seperti burung hong
(phoenix), liong (naga), kupu-kupu, kilin, dan banji (swastika atau
simbol kehidupan abadi) menjadi akrab dengan masyarakat Cirebon.
Para pembatik keraton menuangkannya dalam karya batik. Salah satunya adalah motif batik megamendung.
Motif
batik megamendung gaya Cirebon memiliki kekhasan, sehingga tidak sama
persis dengan megamendung Cina. Pada megamendung dari Cina, garis-garis
awan berbentuk bulatan atau lingkaran, sedangkan megamendung Cirebon
cenderung lonjong, lancip, dan bebrbentuk segitiga.
Ada
pula yang menyebutkan bahwa motif batik megamendung adalah ciptaan
Pangeran Cakrabuana (1452-1479). Motif batik tersebut didapat dari
pengaruh keraton-keraton di Cirebon karena pada awalnya seni batik
Cirebon hanya dikenal di kalangan keraton.
Sekarang di Cirebon,
motif batik megamendung telah banyak digunakan berbagai kalangan, dari
seragam batik sekolah, seragam batik para pegawai, hingga busana kasual.
Persentuhan
budaya Cina dengan seniman batik di Cirebon melahirkan motif batik baru
khas Cirebon dengan motif cina sebagai inspirasi. Seniman batik Cirebon
kemudian mengolahnya dengan cita rasa masyarakat setempat yang beragama
Islam.
Dari situ, lahirlah motif batik dengan ragam hias dan
keunikan khas, seperti paksi naga liman, wadasan, patran keris, singa
payung, singa barong, banjar balong, ayam alas, dan yang paling dikenal
ialah megamendung.
Meskipun motif batik megamendung terpengaruh
budaya Cina, penuangannya secara fundamental berbeda. Motif batik
megamendung Cirebon sarat makna religius dan filosofi. Garis-garis
gambarnya merupakan simbol perjalanan hidup masyarakat dari lahir,
anak-anak, remaja, dewasa, berumah tangga, sampai mati.
Antara lahir dan mati tersambung garis penghubung yang kesemuanya menyimbolkan kebesaran Tuhan.
Sejarah
batik di Cirebon juga terkait perkembangan gerakan tarekat yang konon
berpusat di Banjarmasin, Kalimantan. Oleh karena itu, kendati
terpengaruh motif Cina, penuangan gambarnya berbeda, dengan warna nuansa
Islam.
Contohnya adalah batik dengan motif paksi naga liman. Motif batik itu merupakan simbol pesan keagamaan.
Paksi
menggambarkan rajawali, naga adalah ular naga, dan liman itu
gajah.Motif batik tersebut menggambarkan peperangan kebaikan melawan
keburukan dalam mencapai kesempurnaan. Motif batik itu juga
menggambarkan percampuran Islam, Cina dan India.
Pada motif batik
megamendung, selain perjalanan manusia, juga ada pesan terkait
kepemimpinan yang mengayomi, dan juga perlambang keluasan dan kesuburan.
Komarudin mengemukakan, bentuk awan merupakan simbol dunia luas, bebas, dan transenden. Ada nuansa sufisme di balik motif itu.
Membatik
pada awalnya dikerjakan anggota tarekat yang mengabdi kepada keraton
sebagi sumber ekonomi untuk membiayai kelompok tersebut. Di Cirebon,
para pengikut tarekat tinggal di Desa Trusmidan sekitarnya seperti
Gamel, Kaliwulu, Wotgali, Kalitengah, dan Panembahan, di kecamatan
Plered, kabupaten Cirebon.
Oleh karena itu, sampai sekarang batik
cirebon, identik dengan batik trusmi. Masyarakat Trusmi sudah ratusan
tahun mengenal batik. Keberadaan tarekat menjadikan batik Cirebon
berbeda dengan batik pesisir lain. Karena yang aktif di tarekat adalah
laki-laki, mereka pula yang awalnya merintis tradisi batik.
Ini berbeda dengan daerah lain, membatik hanya dikerjakan oleh wanita.
Warna-warna
cerah merah dan biru yang menggambarkan maskulinitas dan suasana
dinamis, karena ada campur tangan laki-laki dalam proses pembuatan
batik. Di Trusmi, pekerjaan membatik merupakan pekerjaan semesta.
Artinya, seluruh anggota keluarga berperan, si bapak membuat rancangan
gambar, ibu yang mewarnai, dan anak yang menjemurnya.
Oleh karena
itu, warna-warna biru dan merah tua yang digunakan pada motif batik
megamendung, menggambarkan psikologi masyarakat pesisir yang lugas,
terbuka, dan egaliter.
2. Batik Belanda
Belanda memberi pengaruh pada desain busana di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan diketemukannya motif atau corak batik
Little Red Riding Hood yang merupakan suatu cerita dongeng yang berkembang di Eropa, antara tahun 1840-1940 di sekitar daerah pesisir.
Suatu motif batik yang memberi pengaruh motif batik di Indonesia selanjutnya. Yang kemudian disebut sebagai
Batik Belanda.
Batik
Belanda awalnya diproduksi di Pekalongan pada tahun 1900. Beberapa
pabrik besar yang memproduksi batik antara lain dilakukan Mrs. Eliza
Charlotta van Zuylen dan Mrs. L. Metzelaar. Sedangkan batik dalam skala
industri kecil dikerjakan oleh Mrs. Simonet (Nee Tan Ien Nio) dan Raden
Mas Padmo Soediro.
Istilah batik Belanda ini timbul karena yang
membuat batik-batik itu adalah perusahaan atau industri batik milik
wanita pengusaha Indo-Eropa. Hal ini dapat dikenali dari pola-pola serta
motif Eropanya.
Batik Belanda ini awal mulanya diprakarsai oleh
Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles yang tertarik untuk menggunakan
motif batik sebagai motif cetak pada kain. Ketika sesampainya di
Indonesia, penggagas Kebun Raya Bogor ini mengirim kain-kain batik ke
Inggris untuk dilakukan proses percetakan secara massal.
Di Belanda terdapat beberapa perusahaan industri batik seperti Oosterom, Metzelaar, dan Franquemont.
Uniknya
kain batik yang dipakai wanita Indo ini lebih panjang dibanding kain
batik yang digunakan wanita pribumi, ini dikarenakan postur tubuh wanita
pribumi kala itu lebih pendek dibanding postur tubuh wanita Indo.
Biasanya nyonya-nyonya Belanda atau Indo-Eropa ini menggunakan kain
batik sebagai bahan untuk rok, bukan
tapih atau
jarik seperti yang dilakukan wanita pribumi.
Bahkan
kain batik ini dibuat seperti baju-baju yang populer masa itu.
Sedangkan pria menggunakan kain batik sebagai bahan untuk membuat celana
panjang. Biasanya dipakai ketika para pria sedang bersantai di rumah,
dengan dipadu padankan baju katun yang pendek berwarna putih.
Mengenai
pewarnaan yang dilakukan terhadap kain batik, awalnya mereka
menggunakan pewarna alami seperti yang dilakukan penduduk pribumi kala
itu. Namun, karena tuntutan produksi akhirnya pengusaha Batik Belanda
menggunakan pewarna sintetis.
Motif batik Belanda lebih kepada
nuansa Eropa. Selain bercorak cerita Si Topi Merah (Dongeng-dongeng yang
beredar di Eropa kala itu), juga ada cerita
Snow White, Hanzel, and Gretel. Corak lainnya yaitu tema batik seperti Batik Sirkus, Batik Kapal Api, dan Batik Wayang.
3. Batik Batavia
Batik
Batavia sangat dipengaruhi oleh bangsa Eropa pada masa penjajahan
Belanda. Kain batik di masa itu banyak dipakai oleh kaum wanita,
sedangkan kaum pria jarang memakai batik,. Saat penjajahan Belanda, jika
seorang laki-laki mengenakan batik ada semacam pelecehan tingkah laku
yang sangat menyakitkan oleh orang Eropa terhadappemakai batik.
Jika
bule Belanda membeli batik, tujuannya untuk merendahkan martabat lelaki
bangsa Indonesia. Kain batik bagi orang Eropa digunakan untuk serbet,
mencuci mobil dan piyama. Tindakan ini merupakan penghinaan. Padahal
batik bagi bangsa Indonesia digunakan untuk upacara-upacara sakral,
kebesaran raja-raja dan adat keagamaan.
Walaupun demikian, ada
juga orang Belanda yang justru mempelajari batik secara serius. Bahkan
mereka mengembangkan batik dengan gaya Eropa. Ada juga yang mengirimkan
batik ke keluarganya di Eropa.
4. Batik Pekalongan
Batik
Pekalongan termasuk motif batik pesisir yang paling kaya akan warna.
Sebagaimana ciri khas batik pesisir, ragam hiasnya biasanya bersifat
naturalis. Jika dibanding dengan batik pesisir lainnya, batik Pekalongan
ini sangat dipengaruhi pendatang keturunan Cina dan Belanda.
Motif
batik Pekalongan sangat bebas dan menarik, meskipun motifnya terkadang
sama dengan motif batik Solo atau Yogyakarta, sering kali dimodifikasi
dengan variasi warna yang atraktif. Tak jarang pada sehelai kain batik
dijumpai hingga warna yang berani dengan kombinasi yang dinamis.
Walaupun
tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di Pekalongan, diduga
batik Pekalongan sudah ada sekitar tahun 1800. Sebab, dari data yang
diperoleh Deperindag Pekalongan, motif batik itu ada yang dibuat tahun
1802. Misalnya, motif pohon kecil pada bahan baju.
Namun,
perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah perang besar
pada tahun 1825-1830 di kerajaan Mataram yang sering disebut dengan
perang Diponegoro atau perang Jawa. Dengan terjadinya peperangan ini
mendesak keluarga keraton serta para pengikutnya meninggalkan kerajaan.
Mereka
kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah
baru itulah, keluarga kerajaan dan pengikutnya mengembangkan batik.
Ke
timur, batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah
ada di Mojokerto serta Tulungagung hingga menyebar ke Gresik, Surabaya,
dan Madura. Sedang ke arah barat, batik berkembang di Banyumas, Kebumen,
Tegal, Cirebon, dan Pekalongan.
Dengan adanya migrasi ini, maka
batik Pekalongan yang telah ada sebelumnya semakin berkembang. Para
pengikut pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian
mengembangkan usaha batik di sekitar daerah pantai ini, yaitu selain di
daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan,
dan Wonopringgo.
Batik Pekalongan menjadi sangat khas karena
bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir
pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang,
sebagian besar proses produksi batik pekalongan dikerjakan di
rumah-rumah.
Akibatnya, batik Pekalongan menyatu erat
dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua
wilayah administratif, yakni kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan,
Jawa Tengah.
Keistimewaan batik Pekalongan adalah, para
pembatiknya selalu mengikuti perkembangan zaman. Misalnya pada waktu
penjajahan Jepang, maka lahir batik dengan nama ‘Batik Jawa Hokokai’,
yaitu batik dengan motif dan warna yang mirip kimono Jepang.
Sementara
itu batik Pesisir Pekalongan memiliki corak dan komposisi warna yang
lebih kaya. Corak batik biasanya disesuaikan dengan keadaan daerahnya.
Seperti batik Pesisir Pekalongan, simbolisasi motifnya pun bernuansa
pesisir. Misalnya motif bunga laut dan binatang laut.
Lain halnya
dengan batik Jawa yang dominan dengan motif garis, kotak-kotak, dan
konstruksi geometri lainnya. Walau bentuk tangkai, bunga, dan hewan juga
masih mendominasi.
Motif batik di daerah ini banyak dipengaruhi
oleh kultur Demak yang kental dengan Islam dan juga kultur para pedagang
yang datang. Tak heran jika kemudian mereka bisa menerima macam-macam
warna dan gambar yang akhirnya bisa menunjukkan sikap keterbukaan
mereka.
Pada tahun 60’an jua diciptakan batik dengan nama tritura.
Bahkan pada tahun 2005, sesaat setelah presiden SBY diangkat muncul
batik dengan motif ‘SBY’ yaitu motif batik yang mirip dengan kain tenun
ikat atau songket.
Motif batik yang cukup populer lainnya adalah
motif batik Tsunami. Lalu mengapa motif batik pesisir lebih beragam dan
kaya? Banyak ahli batik berpendapat hal ini dikarenakan masyarakat
pantai jauh lebih terbuka sehingga berani mengekspresikan diri.
5. Batik Lasem
Kota
kecamatan Lasem terletak 12 km arah timur ibu kota Kabupaten Rembang
berbatasan dengan Laut Jawa sebelah utara. Lasem adalah sebuah kecamatan
di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kota ini merupakan kota terbesar
kedua di Kabupaten Rembang setelah kota Rembang.
Lasem
dikenal juga sebagai “Tiongkok kecil” karena merupakan kota awal
pendaratan orang Tionghoa di tanah Jawa dan terdapat perkampungan
Tionghoa yang sangat banyak. Di Lsaem juga terdapat patung Budha
Terbaring yang berlapis emas.
Di kota ini juga terdapat sentra
industri batik walaupun tidak setenar batik produksi Solo, Jogja atau
Pekalongan. Namun kehadiran batik Lasem merupakan kebanggaan tersendiri
bagi penduduk kota nelayan ini.
Batik produksi Lasem bercorak khas
warna merah darah ayam yang konon tidak dapat ditiru oleh pembatik dari
daerah lain. Sebelum ada pewarna kimia, pembatik Lasem menggunakan
pewarna alam. Misalnya, untuk menghasilkan warna merah menggunakan kulit
mengkudu atau pace dicampuri dengan kayu-kayuan.
Saat ini pembatik Lasem banyak menggunakan pewarna kimia karena pengerjaannya lebih cepat dan tidak rumit.
Kekhasan
lain kain batik Lasem ini terletak pada coraknya yang merupakan
gabungan pengaruh budaya Tionghoa, budaya lokal masyarakat pesisir utara
Jawa Tengah serta budaya Keraton Solo dan Yogyakarta.
Konon para
pedagang Tionghoa perantauan yang datang ke Lasem memberi pengaruh
terhadap motif batik di daerah ini. Bahkan banyak pedagang yang kemudian
beralih menjadi pengusaha batik di kota Lasem ini.
Menurut
sejarah industri batik nusantara kehadiran batik Lasem ini sudah ada
sejak berabad-abad silam. Awalnya batik Lasem ini menjadi batik Encim,
batik yang dipakai oleh wanita keturunan Tionghoa yang berusia lanjut.
Pengaruh
keraton juga ikut mewarnai corak, motif dan ragam batik tulis Lasem
ini. Terbukti dengan adanya motif/ornamen kawung dan parang. Pengaruh
budaya Cina terasa kental di sini. Sedang pengaruh masyarakat pesisir
utara terlihat pada kombinasi warnacerah merah, biru, kuning, dan hijau.
Ketika
membuat desain motif batik tulis, para pengusaha batik Lasem sangat
dipengaruhi budaya leluhur mereka seperti kepercayaan dan legendanya.
Misalnya terdapat corak ragam hias hurung Hong dan binatang legendaris
kilin atau singa.
Bahkan cerita klasik Tiongkok seperti Sam Pek
Eng Tey pernah menjadi motif batik tulis Lasem ini. Oleh karena itu,
batik tulis Lasem ini kemudian dikenal sebagai batikEncim.
Pada
masa kejayaan batik tulis Lasem, setiap rumah tinggal orang Tionghoa
mengusahakan pembatikandengan merekrut tenaga pembatik dari daerah desa
sekitar Lasem, seperti Sarang dan Pamotan. Tenaga kerja ini melakukan
pekerjaan sebagai sambilan saat menunggu musim panen dan musim tanam
padi di sawah, sehingga pada musim tanam dan panen padi mereka pulang ke
desa.
Akibatnya tenaga pembatik ini berkurang dan dengan
sendirinya proses produksi batik terganggu. Anak pengusaha batik pun
lebih senang bekerja sebagai pegawai kantor dan merantau keluar kota
Lasem.
Diduga sekitar abad ke-16 sudah ada yang mulai membuat
batik di Lasem. Industrinya mulai berkembang dan mencapai produksi masal
di abad ke-19. Kemudian mencapai masa keemasan pada 1900-1942 saat
Jepang masuk Indonesia.
Setelah itu industri tutup 100%. Tidak ada
industri di sana. Sekarang pengusaha batik Lasem bukan 100% etnis
Tionghoa dan tinggal di kota. Justru saat ini 2/3 dari etnis Jawa yang
menjadi pengusaha batik Lasem, dan tinggalnya di sekitar kota Lasem atau
daerah pedesaan.
6. Batik Pati
Batik Pati dapat ditemui
antara lain di Kecamatan Juwana. Usaha ini tepatnya berada di Desa
Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon. Oleh karenanya, batik Pati lebih
dikenal dengan sebutan
batik bakaran.
Tahun
1975, batik bakaran nyaris hilang dari peredaran pasar tradisional.
Pasalnya, Sutarsih yang berusia 8 tahun, satu-satunya generasi keempat
pembatik bakaran, tak mampu lagi membatik. Namun, Bukhati, putra ke-12
Sutarsih, yang mewarisi kemampuan membatik, berusaha keras menjadikan
batik bakaran kembali “bermasa depan”.
Agar batik bakaran lebih
dikenal luas, Bukhari memberi merek batiknya “Tjokro”. Ia mengambil nama
kakeknya, Turiman Tjokro Satmoko. Alasannya, pada era Tjokro, batik
bakaran menjadi komoditas perdagangan di Pelabuhan Juwana dan menjadi
tren pakaian para pejabat Kawedanan Juwana.
Lonjakan permintaan
pasar pada era 1980-an itu menyebabkan Bukhari menambah tenaga kerja
dari dua orang menjadi 20 pembatik. Tenaga pembatik itu berasal dari
para ibu rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya.
Pada tahun
1998 Bukhari terpaksa menutup usaha batik dan memberhentikan para
pekerjanya. Industri rumah tangga batik yang dia kembangkan mulai dari
nol itu terkena imbas krisis moneter. Alasannya, harga bahan baku batik
meningkat berlipat-lipat sehingga harga batik menjadi sangat tinggi. Hal
ini mengakibatkan batik bakaran sepi pembeli.
Pada tahun 2006,
Bukhari mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Pati untuk melestarikan
dan meningkatkan pemasaran batik bakaran. Pemkab Pati menerima usulan
itu dengan menggalakkan program pemakaian batik bagi pegawai negeri
sipil (PNS) pada hari-hari tertentu.
Saat ini pemasaran batik bakaran telah menyebar ke beberapa daerah dan bahkan luar negeri.
7. Batik Tuban
Motif
batik Tuban merupakan gabungan tiga budaya yang berbeda, yaitu Islam,
Cina, dan Hindu. Pengaruh budaya Islam, misalnya pada motif batik kijing
miring. sementara pengaruh budaya Cina, diwakili dalam motif Lok Chan
yang menyertakan gambar burung Hong. Sedangkan pengaruh Hindu, bisa
dilihat dari motif batik panji ori atau panji serong.
Tuban
berada di kawasan pesisir yang juga merupakan daerah pertanian.
Alhasil, nuansa flora dan faunanya juga sangat kental. Pada batik klasik
Tuban, selalu ada gambar ganggang atau rumput laut.
Sedangkan kembang waluh menggambarkan Tuban sebagai daerah agraris.
Ciri khas lainnya adalah warna merah dari kebudayaan Cina dan biru gelap.
Tuban
juga memiliki batik gedog. Saat proses pembuatan batik gedog, selalu
terdengar suara dog, ketika perajin merapatkan benang “lawe” dengan
peralatan “uro”, salah satu bagian “kemplongan”.
Berangkat dari
itu, tenun karya perajin batik setempat dikenal dengan nama batik gedog.
batik gedog dibuat dengan menggunakan alat tenun bukan mesin.
Dalam
perkembangannya,suara dog yang ditimbulkan dari peralatan “kemplongan”
itu, bunyinya sudah berubah. Hampir manyoritas suaranya sudah tidak
lagi, dog, namun “jrek”. Masalahnya, warga setempat mulai mengganti
“cacak kemplongan” dengan bambu. Jika semua pengrajin sudah mengganti
peralatan dengan bambu, maka bisa muncul nama baru yaitu batik ‘gejrek’.
Untuk
menenun benang “lawe”, agar bisa menjadi bahan batik gedog, siap jadi
yang panjangnya bisa 2meter atau 3 meter, masing-masing lebarnya 5cm,
membutuhkan waktu berkisar dua hari. Perhitungannya, setiap potong bahan
kain batik gedog itu, membutuhkan benang “lawe” sekitar 1,5 kilogram.
Dalam buku
“Batik Fabled Cloth of Java” karangan
Inger McCabe Elliot tertulis, ada kemiripan batik gedog Tuban dengan
batik Cirebon, yang tumbuh pertengahan abad XIX. Kemiripan ini terjadi
pada penggunaan benang pintal dan penggunaan warna merah dan biru pada
proses pencelupan.
Perbedaannya, batik gedog Tuban tetap bertahan
dan terus berkembang dengan warna khas nila, kegelap-gelapan. Sedangkan
batik Cirebon, mengalami perubahan, karena adanya perubahan Kota Cirebon
sendiri dalam berbagai bidang.
Saat ini batik gedog warna biru masih dipertahankan, karena diyakini bisa menyembuhkan penyakit.
Kecamatan
Kerek, Tuban, merupakan sentra perajin batik gedog, mulai Desa
Kedungrejo, Jorarejo, Margorejo, Gaji, dan desa lainnya. Hampir semua
petaninya, menanam kapuk kapas yang dimanfaatkan untuk membuat “lawe”.
Pewarnaan
batik gedog menggunakan warnaalam. Misalnya, warna biru memanfaatkan
daun indigo. Sedangkan warna cokelat bisa memanfaatkan kulit kayu
mahoni, tinggi dan secang.
Batik gedog memiliki bahan yang kasar. Harganya relatif murah, tergantung kualitasnya.
8. Batik Madura
Motif
batik Madura sangat kontras. Adat keraton di Madura banyak menimbulkan
pengaruh terhadap motif dan warna batik yang menyebabkan haya batik
Madura sangat konservatif. Hal ini disebabkan keadaan alam Madura yang
sangat keras sehingga batik Madura sangat filosofis.
sumber:https://www.fatinia.com/motif-batik-pesisir-jawa/