Rabu, 23 November 2016

8 motif batik pesisir jawa yang terkenal di indonesia

8 Motif Batik Pesisir Jawa yang Terkenal di Indonesia

motif batik pesisir indonesia
MOTIF BATIK PESISIR – Motif batik pesisir memperlihatkan gambaran yang berbeda dengan motif batik keraton. Batik pesisir lebih bebas serta kaya motif dan warna. Mereka tidak terikat dengan aturan keraton, akan tetapi memiliki sedikit nilai filosofis. Motif batik pesisir berupa tanaman, binatang, dan ciri khas lingkungannya.
Warnanya semarak agar lebih menarik konsumen. Batik pesisiran banyak menyerap pengaruh luar, seperti pedagang asing dan para penjajah.Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh etnis Tionghoa yang juga mempopulerkan corak phoenix. Sementara itu, bangsa penjajah Eropa, khususnya Belanda juga mengambil minat pada batik.
Hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal, seperti bunga tulip dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah, misalnya gedung, kereta kuda, meriam, atau pun kapal. Warnanya pun tergantung dari kesukaan mereka, seperti warna biru.
Batik pesisir merupakan julukan untuk batik yang ditemukan di wilayah pesisir atau pantai, misalnya daerah Cirebon, Lasem, Pekalongan, Tuban, dan wilayah lainnya.

1. Batik Cirebon

Motif batik megamendung merupakan salah satu ciri khas batik cirebon. Motif megamendung yang merupakan akulturasi dengan budaya Cina tersebut dikembangkan seniman batik Cirebon sesuai cita rasa masyarakat Cirebon yang beragama Islam.
motfi batik cirebon megamendung
Motif batik ini dapat dijumpai di daerah-daerah pesisir penghasil batik lain di utara Jawa, seperti Indramayu, Pekalongan, maupun Lasem.
Kekhasan megamendung atau awan-awanan tidak saja terletak pada motifnya yang berupa gambar menyerupai awan dengan warna-warna tegas seperti biru dan merah. Motif berbentuk seperti awan bergumpal-gumpal tersebut biasanya membentuk bingkai pada gambar utama.
Sejarah batik di Cirebon terkait erat dengan proses asimilasi budaya serta tradisi ritual religius. Prosesnya berlangsung sejak Sunan Gunung Jati menyebarkan Islam di Cirebon sekitar abad ke-16. Sejarah batik Cirebon dimulai ketika Pelabuhan Muara Jati (Cirebon) menjadi tempat persinggahan pedagang Tiongkok, Arab, Persia, dan India.
Saat itu terjadi asimilasi dan akulturasi beragam budaya yang menghasilkan banyak tradisi baru bagi masyarakat Cirebon.
Pernikahan Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Jati merupakan “pintu gerbang” masuknya budaya dan tradisi Tiongkok (Cina) ke keraton. Ketika keraton menjadi pusat kosmik sehingga ide atau gagasan,pernak-pernik tradisi dan budaya Cina yang masuk bersama Putri Ong Tien menjadi pusat perhatian para seniman Cirebon.
Pernak-pernik Cina yang dibawa Putri Ong Tien sebagai persembahan kepada Sunan Gunung Jati menjadi inspirasi seniman, termasuk pembatik.
Keramik cina, porselen, atau kain sutra dari zaman Dinasti Ming dan Ching yang memiliki banyak motif menginspirasi seniman Cirebon. Gambar simbol kebudayaan Cina, seperti burung hong (phoenix), liong (naga), kupu-kupu, kilin, dan banji (swastika atau simbol kehidupan abadi) menjadi akrab dengan masyarakat Cirebon.
Para pembatik keraton menuangkannya dalam karya batik. Salah satunya adalah motif batik megamendung.
Motif batik megamendung gaya Cirebon memiliki kekhasan, sehingga tidak sama persis dengan megamendung Cina. Pada megamendung dari Cina, garis-garis awan berbentuk bulatan atau lingkaran, sedangkan megamendung Cirebon cenderung lonjong, lancip, dan bebrbentuk segitiga.
motif batik cirebon
Ada pula yang menyebutkan bahwa motif batik megamendung adalah ciptaan Pangeran Cakrabuana (1452-1479). Motif batik tersebut didapat dari pengaruh keraton-keraton di Cirebon karena pada awalnya seni batik Cirebon hanya dikenal di kalangan keraton.
Sekarang di Cirebon, motif batik megamendung telah banyak digunakan berbagai kalangan, dari seragam batik sekolah, seragam batik para pegawai, hingga busana kasual.
Persentuhan budaya Cina dengan seniman batik di Cirebon melahirkan motif batik baru khas Cirebon dengan motif cina sebagai inspirasi. Seniman batik Cirebon kemudian mengolahnya dengan cita rasa masyarakat setempat yang beragama Islam.
Dari situ, lahirlah motif batik dengan ragam hias dan keunikan khas, seperti paksi naga liman, wadasan, patran keris, singa payung, singa barong, banjar balong, ayam alas, dan yang  paling dikenal ialah megamendung.
Meskipun motif batik megamendung terpengaruh budaya Cina, penuangannya secara fundamental berbeda. Motif batik megamendung Cirebon sarat makna religius dan filosofi. Garis-garis gambarnya merupakan simbol perjalanan hidup masyarakat dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa, berumah tangga, sampai mati.
Antara lahir dan mati tersambung garis penghubung yang kesemuanya menyimbolkan kebesaran Tuhan.
Sejarah batik di Cirebon juga terkait perkembangan gerakan tarekat yang konon berpusat di Banjarmasin, Kalimantan. Oleh karena itu, kendati terpengaruh motif Cina, penuangan gambarnya berbeda, dengan warna nuansa Islam.
Contohnya adalah batik dengan motif paksi naga liman. Motif batik itu merupakan simbol pesan keagamaan.
Paksi menggambarkan rajawali, naga adalah ular naga, dan liman itu gajah.Motif batik tersebut menggambarkan peperangan kebaikan melawan keburukan dalam mencapai kesempurnaan. Motif batik itu juga menggambarkan percampuran Islam, Cina dan India.
Pada motif batik megamendung, selain perjalanan manusia, juga ada pesan terkait kepemimpinan yang mengayomi, dan juga perlambang keluasan dan kesuburan.
Komarudin mengemukakan, bentuk awan merupakan simbol dunia luas, bebas, dan transenden. Ada nuansa sufisme di balik motif itu.
Membatik pada awalnya dikerjakan anggota tarekat yang mengabdi kepada keraton sebagi sumber ekonomi untuk membiayai kelompok tersebut. Di Cirebon, para pengikut tarekat tinggal di Desa Trusmidan sekitarnya seperti Gamel, Kaliwulu, Wotgali, Kalitengah, dan Panembahan, di kecamatan Plered, kabupaten Cirebon.
Oleh karena itu, sampai sekarang batik cirebon, identik dengan batik trusmi. Masyarakat Trusmi sudah ratusan tahun mengenal batik. Keberadaan tarekat menjadikan batik Cirebon berbeda dengan batik pesisir lain. Karena yang aktif di tarekat adalah laki-laki, mereka pula yang awalnya merintis tradisi batik.
Ini berbeda dengan daerah lain, membatik hanya dikerjakan oleh wanita.
Warna-warna cerah merah dan biru yang menggambarkan maskulinitas dan suasana dinamis, karena ada campur tangan laki-laki dalam proses pembuatan batik. Di Trusmi, pekerjaan membatik merupakan pekerjaan semesta. Artinya, seluruh anggota keluarga berperan, si bapak membuat rancangan gambar, ibu yang mewarnai, dan anak yang menjemurnya.
Oleh karena itu, warna-warna biru dan merah tua yang digunakan pada motif batik megamendung, menggambarkan psikologi masyarakat pesisir yang lugas, terbuka, dan egaliter.

2. Batik Belanda

Belanda memberi pengaruh pada desain busana di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan diketemukannya motif atau corak batik Little Red Riding Hood yang merupakan suatu cerita dongeng yang berkembang di Eropa, antara tahun 1840-1940 di sekitar daerah pesisir.
Suatu motif batik yang memberi pengaruh motif batik di Indonesia selanjutnya. Yang kemudian disebut sebagai Batik Belanda.
motif batik belanda
Batik Belanda awalnya diproduksi di Pekalongan pada tahun 1900. Beberapa pabrik besar yang memproduksi batik antara lain dilakukan Mrs. Eliza Charlotta van Zuylen dan Mrs. L. Metzelaar. Sedangkan batik dalam skala industri kecil dikerjakan oleh Mrs. Simonet (Nee Tan Ien Nio) dan Raden Mas Padmo Soediro.
Istilah batik Belanda ini timbul karena yang membuat batik-batik itu adalah perusahaan atau industri batik milik wanita pengusaha Indo-Eropa. Hal ini dapat dikenali dari pola-pola serta motif Eropanya.
Batik Belanda ini awal mulanya diprakarsai oleh Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles yang tertarik untuk menggunakan motif batik sebagai motif cetak pada kain. Ketika sesampainya di Indonesia, penggagas Kebun Raya Bogor ini mengirim kain-kain batik ke Inggris untuk dilakukan proses percetakan secara massal.
Di Belanda terdapat beberapa perusahaan industri batik seperti Oosterom, Metzelaar, dan Franquemont.
Uniknya kain batik yang dipakai wanita Indo ini lebih panjang dibanding kain batik yang digunakan wanita pribumi, ini dikarenakan postur tubuh wanita pribumi kala itu lebih pendek dibanding postur tubuh wanita Indo. Biasanya nyonya-nyonya Belanda atau Indo-Eropa ini menggunakan kain batik sebagai bahan untuk rok, bukan tapih atau jarik seperti yang dilakukan wanita pribumi.
Bahkan kain batik ini dibuat seperti baju-baju yang populer masa itu. Sedangkan pria menggunakan kain batik sebagai bahan untuk membuat celana panjang. Biasanya dipakai ketika para pria sedang bersantai di rumah, dengan dipadu padankan baju katun yang pendek berwarna putih.
Mengenai pewarnaan yang dilakukan terhadap kain batik, awalnya mereka menggunakan pewarna alami seperti yang dilakukan penduduk pribumi kala itu. Namun, karena tuntutan produksi akhirnya pengusaha Batik Belanda menggunakan pewarna sintetis.
Motif batik Belanda lebih kepada nuansa Eropa. Selain bercorak cerita Si Topi Merah (Dongeng-dongeng yang beredar di Eropa kala itu), juga ada cerita Snow White, Hanzel, and Gretel. Corak lainnya yaitu tema batik seperti Batik Sirkus, Batik Kapal Api, dan Batik Wayang.

3. Batik Batavia

Batik Batavia sangat dipengaruhi oleh bangsa Eropa pada masa penjajahan Belanda. Kain batik di masa itu banyak dipakai oleh kaum wanita, sedangkan kaum pria jarang memakai batik,. Saat penjajahan Belanda, jika seorang laki-laki mengenakan batik ada semacam pelecehan tingkah laku yang sangat menyakitkan oleh orang Eropa terhadappemakai batik.
Jika bule Belanda membeli batik, tujuannya untuk merendahkan martabat lelaki bangsa Indonesia. Kain batik bagi orang Eropa digunakan untuk serbet, mencuci mobil dan piyama. Tindakan ini merupakan penghinaan. Padahal batik bagi bangsa Indonesia digunakan untuk upacara-upacara sakral, kebesaran raja-raja dan adat keagamaan.
Walaupun demikian, ada juga orang Belanda yang justru mempelajari batik secara serius. Bahkan mereka mengembangkan batik dengan gaya Eropa. Ada juga yang mengirimkan batik ke keluarganya di Eropa.

4. Batik Pekalongan

Batik Pekalongan termasuk motif batik pesisir yang paling kaya akan warna. Sebagaimana ciri khas batik pesisir, ragam hiasnya biasanya bersifat naturalis. Jika dibanding dengan batik pesisir lainnya, batik Pekalongan ini sangat dipengaruhi pendatang keturunan Cina dan Belanda.
motif batik pekalongan
Motif batik Pekalongan sangat bebas dan menarik, meskipun motifnya terkadang sama dengan motif batik Solo atau Yogyakarta, sering kali dimodifikasi dengan variasi warna yang atraktif. Tak jarang pada sehelai kain batik dijumpai hingga  warna yang berani dengan kombinasi yang dinamis.
Walaupun tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di Pekalongan, diduga batik Pekalongan sudah ada sekitar tahun 1800. Sebab, dari data yang diperoleh Deperindag Pekalongan, motif batik itu ada yang dibuat tahun 1802. Misalnya, motif pohon kecil pada bahan baju.
Namun, perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah perang besar pada tahun 1825-1830 di kerajaan Mataram yang sering disebut dengan perang Diponegoro atau perang Jawa. Dengan terjadinya peperangan ini mendesak keluarga keraton serta para pengikutnya meninggalkan kerajaan.
batik pekalongan museum
Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itulah, keluarga kerajaan dan pengikutnya mengembangkan batik.
Ke timur, batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulungagung hingga menyebar ke Gresik, Surabaya, dan Madura. Sedang ke arah barat, batik berkembang di Banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon, dan Pekalongan.
Dengan adanya migrasi ini, maka batik Pekalongan yang telah ada sebelumnya semakin berkembang. Para pengikut pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan usaha batik di sekitar daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan, dan Wonopringgo.
Batik Pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik pekalongan dikerjakan di rumah-rumah.

Akibatnya, batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.
Keistimewaan batik Pekalongan adalah, para pembatiknya selalu mengikuti perkembangan zaman. Misalnya pada waktu penjajahan Jepang, maka lahir batik dengan nama ‘Batik Jawa Hokokai’, yaitu batik dengan motif dan warna yang mirip kimono Jepang.
Sementara itu batik Pesisir Pekalongan memiliki corak dan komposisi warna yang lebih kaya. Corak batik biasanya disesuaikan dengan keadaan daerahnya. Seperti batik Pesisir Pekalongan, simbolisasi motifnya pun bernuansa pesisir. Misalnya motif bunga laut dan binatang laut.
Lain halnya dengan batik Jawa yang dominan dengan motif garis, kotak-kotak, dan konstruksi geometri lainnya. Walau bentuk tangkai, bunga, dan hewan juga masih mendominasi.
Motif batik di daerah ini banyak dipengaruhi oleh kultur Demak yang kental dengan Islam dan juga kultur para pedagang yang datang. Tak heran jika kemudian mereka bisa menerima macam-macam warna dan gambar yang akhirnya bisa menunjukkan sikap keterbukaan mereka.
Pada tahun 60’an jua diciptakan batik dengan nama tritura. Bahkan pada tahun 2005, sesaat setelah presiden SBY diangkat muncul batik dengan motif ‘SBY’ yaitu motif batik yang mirip dengan kain tenun ikat atau songket.
Motif batik yang cukup populer lainnya adalah motif batik Tsunami. Lalu mengapa motif batik pesisir lebih beragam dan kaya? Banyak ahli batik berpendapat hal ini dikarenakan masyarakat pantai jauh lebih terbuka sehingga berani mengekspresikan diri.

5. Batik Lasem

Kota kecamatan Lasem terletak 12 km arah timur ibu kota Kabupaten Rembang berbatasan dengan Laut Jawa sebelah utara. Lasem adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kota ini merupakan kota terbesar kedua di Kabupaten Rembang setelah kota Rembang.
motif batik lasem

Lasem dikenal juga sebagai “Tiongkok kecil” karena merupakan kota awal pendaratan orang Tionghoa di tanah Jawa dan terdapat perkampungan Tionghoa yang sangat banyak. Di Lsaem juga terdapat patung Budha Terbaring yang berlapis emas.
Di kota ini juga terdapat sentra industri batik walaupun tidak setenar batik produksi Solo, Jogja atau Pekalongan. Namun kehadiran batik Lasem merupakan kebanggaan tersendiri bagi penduduk kota nelayan ini.
Batik produksi Lasem bercorak khas warna merah darah ayam yang konon tidak dapat ditiru oleh pembatik dari daerah lain. Sebelum ada pewarna kimia, pembatik Lasem menggunakan pewarna alam. Misalnya, untuk menghasilkan warna merah menggunakan kulit mengkudu atau pace dicampuri dengan kayu-kayuan.
Saat ini pembatik Lasem banyak menggunakan pewarna kimia karena pengerjaannya lebih cepat dan tidak rumit.
Kekhasan lain kain batik Lasem ini terletak pada coraknya yang merupakan gabungan pengaruh budaya Tionghoa, budaya lokal masyarakat pesisir utara Jawa Tengah serta budaya Keraton Solo dan Yogyakarta.
Konon para pedagang Tionghoa perantauan yang datang ke Lasem memberi pengaruh terhadap motif batik di daerah ini. Bahkan banyak pedagang yang kemudian beralih menjadi pengusaha batik di kota Lasem ini.
Menurut sejarah industri batik nusantara kehadiran batik Lasem ini sudah ada sejak berabad-abad silam. Awalnya batik Lasem ini menjadi batik Encim, batik yang dipakai oleh wanita keturunan Tionghoa yang berusia lanjut.
Pengaruh keraton juga ikut mewarnai corak, motif dan ragam batik tulis Lasem ini. Terbukti dengan adanya motif/ornamen kawung dan parang. Pengaruh budaya Cina terasa kental di sini. Sedang pengaruh masyarakat pesisir utara terlihat pada kombinasi warnacerah merah, biru, kuning, dan hijau.
Ketika membuat desain motif batik tulis, para pengusaha batik Lasem sangat dipengaruhi budaya leluhur mereka seperti kepercayaan dan legendanya. Misalnya terdapat corak ragam hias hurung Hong dan binatang legendaris kilin atau singa.
Bahkan cerita klasik Tiongkok seperti Sam Pek Eng Tey pernah menjadi motif batik tulis Lasem ini. Oleh karena itu, batik tulis Lasem ini kemudian dikenal sebagai batikEncim.
Pada masa kejayaan batik tulis Lasem, setiap rumah tinggal orang Tionghoa mengusahakan pembatikandengan merekrut tenaga pembatik dari daerah desa sekitar Lasem, seperti Sarang dan Pamotan. Tenaga kerja ini melakukan pekerjaan sebagai sambilan saat menunggu musim panen dan musim tanam padi di sawah, sehingga pada musim tanam dan panen padi mereka pulang ke desa.
Akibatnya tenaga pembatik ini berkurang dan dengan sendirinya proses produksi batik terganggu. Anak pengusaha batik pun lebih senang bekerja sebagai pegawai kantor dan merantau keluar kota Lasem.
Diduga sekitar abad ke-16 sudah ada yang mulai membuat batik di Lasem. Industrinya mulai berkembang dan mencapai produksi masal di abad ke-19. Kemudian mencapai masa keemasan pada 1900-1942 saat Jepang masuk Indonesia.
Setelah itu industri tutup 100%. Tidak ada industri di sana. Sekarang pengusaha batik Lasem bukan 100% etnis Tionghoa dan tinggal di kota. Justru saat ini 2/3 dari etnis Jawa yang menjadi pengusaha batik Lasem, dan tinggalnya di sekitar kota Lasem atau daerah pedesaan.

6. Batik Pati

Batik Pati dapat ditemui antara lain di Kecamatan Juwana. Usaha ini tepatnya berada di Desa Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon. Oleh karenanya, batik Pati lebih dikenal dengan sebutan batik bakaran.
batik bakaran pati
Tahun 1975, batik bakaran nyaris hilang dari peredaran pasar tradisional. Pasalnya, Sutarsih yang berusia 8 tahun, satu-satunya generasi keempat pembatik bakaran, tak mampu lagi membatik. Namun, Bukhati, putra ke-12 Sutarsih, yang mewarisi kemampuan membatik, berusaha keras menjadikan batik bakaran kembali “bermasa depan”.
Agar batik bakaran lebih dikenal luas, Bukhari memberi merek batiknya “Tjokro”. Ia mengambil nama kakeknya, Turiman Tjokro Satmoko. Alasannya, pada era Tjokro, batik bakaran menjadi komoditas perdagangan di Pelabuhan Juwana dan menjadi tren pakaian para pejabat Kawedanan Juwana.
Lonjakan permintaan pasar pada era 1980-an itu menyebabkan Bukhari menambah tenaga kerja dari dua orang menjadi 20 pembatik. Tenaga pembatik itu berasal dari para ibu rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya.
Pada tahun 1998 Bukhari terpaksa menutup usaha batik dan memberhentikan para pekerjanya. Industri rumah tangga batik yang dia kembangkan mulai dari nol itu terkena imbas krisis moneter. Alasannya, harga bahan baku batik meningkat berlipat-lipat sehingga harga batik menjadi sangat tinggi. Hal ini mengakibatkan batik bakaran sepi pembeli.
Pada tahun 2006, Bukhari mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Pati untuk melestarikan dan meningkatkan pemasaran batik bakaran. Pemkab Pati menerima usulan itu dengan menggalakkan program pemakaian batik bagi pegawai negeri sipil (PNS) pada hari-hari tertentu.
Saat ini pemasaran batik bakaran telah menyebar ke beberapa daerah dan bahkan luar negeri.

7. Batik Tuban

Motif batik Tuban merupakan gabungan tiga budaya yang berbeda, yaitu Islam, Cina, dan Hindu. Pengaruh budaya Islam, misalnya pada motif batik kijing miring. sementara pengaruh budaya Cina, diwakili dalam motif Lok Chan yang menyertakan gambar burung Hong. Sedangkan pengaruh Hindu, bisa dilihat dari motif batik panji ori atau panji serong.
batik gedog tuban
Tuban berada di kawasan pesisir yang juga merupakan daerah pertanian. Alhasil, nuansa flora dan faunanya juga sangat kental. Pada batik klasik Tuban, selalu ada gambar ganggang atau rumput laut.
Sedangkan kembang waluh menggambarkan Tuban sebagai daerah agraris. Ciri khas lainnya adalah warna merah dari kebudayaan Cina dan biru gelap.
Tuban juga memiliki batik gedog. Saat proses pembuatan batik gedog, selalu terdengar suara dog, ketika perajin merapatkan benang “lawe” dengan peralatan “uro”, salah satu bagian “kemplongan”.
Berangkat dari itu, tenun karya perajin batik setempat dikenal dengan nama batik gedog. batik gedog dibuat dengan menggunakan alat tenun bukan mesin.
Dalam perkembangannya,suara dog yang ditimbulkan dari peralatan “kemplongan” itu, bunyinya sudah berubah. Hampir manyoritas suaranya sudah tidak lagi, dog, namun “jrek”. Masalahnya, warga setempat mulai mengganti “cacak kemplongan” dengan bambu. Jika semua pengrajin sudah mengganti peralatan dengan bambu, maka bisa muncul nama baru yaitu batik ‘gejrek’.
Untuk menenun benang “lawe”, agar bisa menjadi bahan batik gedog, siap jadi yang panjangnya bisa 2meter atau 3 meter, masing-masing lebarnya 5cm, membutuhkan waktu berkisar dua hari. Perhitungannya, setiap potong bahan kain batik gedog itu, membutuhkan benang “lawe” sekitar 1,5 kilogram.
Dalam buku “Batik Fabled Cloth of Java” karangan Inger McCabe Elliot tertulis, ada kemiripan batik gedog Tuban dengan batik Cirebon, yang tumbuh pertengahan abad XIX. Kemiripan ini terjadi pada penggunaan benang pintal dan penggunaan warna merah dan biru pada proses pencelupan.
Perbedaannya, batik gedog Tuban tetap bertahan dan terus berkembang dengan warna khas nila, kegelap-gelapan. Sedangkan batik Cirebon, mengalami perubahan, karena adanya perubahan Kota Cirebon sendiri dalam berbagai bidang.
Saat ini batik gedog warna biru masih dipertahankan, karena diyakini bisa menyembuhkan penyakit.
Kecamatan Kerek, Tuban, merupakan sentra perajin batik gedog, mulai Desa Kedungrejo, Jorarejo, Margorejo, Gaji, dan desa lainnya. Hampir semua petaninya, menanam kapuk kapas yang dimanfaatkan untuk membuat “lawe”.
Pewarnaan batik gedog menggunakan warnaalam. Misalnya, warna biru memanfaatkan daun indigo. Sedangkan warna cokelat bisa memanfaatkan kulit kayu mahoni, tinggi dan secang.
Batik gedog memiliki bahan yang kasar. Harganya relatif murah, tergantung kualitasnya.

8. Batik Madura

motif batik madura
Motif batik Madura sangat kontras. Adat keraton di Madura banyak menimbulkan pengaruh terhadap motif dan warna batik yang menyebabkan haya batik Madura sangat konservatif. Hal ini disebabkan keadaan alam Madura yang sangat keras sehingga batik Madura sangat filosofis.


sumber:https://www.fatinia.com/motif-batik-pesisir-jawa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar